18 Jul 2010

Cerpenku "Berilah Kasih Sayang itu Kembali"

Sebelum hal ini terjadi, rasanya aku sangat lebih disayangi dan diperhatikan dibandingkan kedua adikku. Setiap aku ingin sesuatu pasti selalu dituruti, bahkan aku bisa menjadi seperti ini itu berkat orang tuaku. Seluruh waktu hidupku dapatku isi dengan kebahagiaan. Aku bisa belajar, bermain, dan hal lain yang dapat membuatku bahagia. Tapi karena ingin menambah penghasilan, orang tuaku berniat untuk membuat usaha sendiri, rupanya usaha itu membuat toko sembako.
Hal inilah yang mengawali permasalahanku. Sejak tokoku selesai dibangun, aku disuruh untuk selalu menjaga toko. Hari ke hari selalu kulalui dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Namun, semakin lama aku merasa bahwa kasih sayang itu sudah hilang, orang tuaku sibuk dengan usahanya masing-masing. Tak ada lagi kecupan manis dari bibir mereka, tak ada lagi tetes air mata dari mata mereka dan tak ada lagi senyuman diwajah mereka, yang ada hanyalah raut wajah yang penuh dengan amarah.
Aku merasa sangat terbebani oleh sikap orang tuaku itu terhadapku, sudah harus belajar ditambah pula dengan menjaga toko, tanpa sedikitpun ada waktu bermain. Aku merasa aku hidup sebatang kara, tanpa kasih sayang dan perhatian.
Setiap sepulang sekolah, aku langsung disuruh pulang ke rumah dan disuruh berganti pakaian, lalu langsung kembali ke toko untuk menjaga toko hingga orang tuaku selesai melakukan pekerjaan. Biasanya orang tuaku selesai melakukan pekerjaannya sekitar pukul 08.00 malam.
Suatu hari, disaat hari libur, kebetulan hari itu hari Jum’at, aku dan teman-temanku berjanji akan kerja kelompok dirumah temanku pukul 09.00, tiba-tiba tanpa sepengetahuanku salah seorang dari temanku telah menjemputku. Tapi saat aku ingin pergi, aku dimarahi oleh Ibuku. Aku dipukul dan ditampar oleh Ibuku. Aku menangis kesakitan, aku baru diperbolehkan pergi setelah aku membuka dan menjaga toko. Akhirnya temanku pun mengambil keputusan untuk pergi terlebih dahulu. Tapi sebenarnya aku tidak enak dengan temanku, karena dia sudah repot-repot menjemputku, dan aku tidak menghargainya. Tapi bagaimana? Aku tidak bisa melawan apa kata orang tuaku, aku takut.
Bergegaslah aku ke toko. Aku pun membuka toko sesuai perintah ibuku. Setelah aku selesai membuka toko, aku pulang ke rumah untuk memanggil ibuku, tapi ibu ku belum selesai juga mengerjakan pekerjaanya di rumah. Aku pun kembali ke toko, dan harus menunggu sampai ibuku selesai bekerja, tak lama kemudian ibuku datang dengan mengendarai motor dan membawa kedua adikku. Ternyata ibuku akan pergi berbelanja. Aku merasa, aku selalu dibohongi oleh orang tuaku, aku kecewa. Andai saja derajat ku sama dengan mereka, pasti aku tidak akan dibohongi, dan dimarahi.
Pada saat itu, kebetulan aku sedang lapar, jadi dengan penuh rasa kecewa, aku terpaksa memesan kepada ibuku agar membelikanku sebungkus nasi goreng. Setelah itu berangkatlah ibuku.
Hari pun semakin siang. Sudah sekitar satu jam aku menunggu, para pembeli hilir mudik ke tokoku. Tapi belum kembali juga ibuku. Tiba-tiba jatuh air mataku, entah mengapa, mungkin aku kesal sekali dengan perbuatan orang tuaku. Semua ini berbeda dengan yang aku harapkan, mereka tidak bisa menjadi orang tua yang pantas untuk anaknya.
Setiap saat atau bahkan setiap detik, aku selalu melihat kearah ibuku pergi, dan aku berharap semoga ibuku akan kembali, tiba-tiba aku melihat dari kejauhan ada seseorang yang memang mirip seperti ibuku, aku melambaikan tanganku ke arah tersebut. Setelah dia mendekati tokoku, rupanya, itu bukan ibuku melainkan tetanggaku. Mengapa semua yang kulihat dan kupikirkan itu hanyalah khayalanku saja? Mengapa ?
Waktu terus berputar, namun ibuku tak kunjung datang, berulang kali aku berniat untuk pergi berjalan kaki ke rumah temanku dan meninggalkan tokoku. Tapi, mengapa selalu tidak bisa? Mengapa? Mungkinkah ada sebuah perasaan yang tidak bisa aku lepas dan aku tinggalkan. Apakah itu namanya rasa kasih sayang orang tua yang tak bisa dilepas dan ditinggalkan begitu saja oleh anaknya. Berulang kali telah kucoba, tapi bila kutinggalkan pergi, rasanya aku selalu ingin meneteskan air mataku.
Jadi aku putuskan untuk tetap menunggu. Aku terus berharap agar yang datang itu ibuku. Aku melihat orang yang lalu lalang dijalan raya yang berada didepan tokoku, tapi mengapa ibuku belum datang juga? Benarkah ibuku tidak akan kembali lagi dan akan melupakanku untuk selamanya.
Tapi tak lama kemudian datang ibuku dengan membawa barang belanjaan. Setelah sampai ditoko, ibuku melihat aku sedang menangis, tapi aku tidak hiraukan ibuku sama sekali, bahkan aku menyuruh ibuku untuk segera turun dari motor. Tanpa sepengetahuanku, plakk... aku terkena pukul lagi oleh ibuku. Apakah semua itu adalah akibat perbuatanku yang tidak santun terhadap ibuku? Mengapa, mengapa bila semua ini kesalahanku, aku selalu terkena marah? Tapi mengapa jika mereka yang melakukan kesalahan aku tidak bisa memarahi mereka? Apakah semua ini Sunatullah?
Tiba-tiba terdengar suara perutku ketika aku sedang dimarahi, aku mencoba untuk menahannya, tapi semakin lama perutku semakin sakit. Jadi karena terpaksa aku pun bertanya pada ibu, apakah beliau membelikanku nasi goreng yang kupesan tadi. Tapi ternyata tidak, ibu tidak membelikan nasi goreng yang kupesan tadi.
Aku pun berlari kesakitan dengan perut yang lapar menuju rumah , aku menangis ehhe... eh.. ehe.. ehe.... Lalu aku langsung menuju ke kamar dan mengunci pintu. Rupanya ibu tidak sayang dan sudah lupa denganku, ibu hanya memikirkan usahanya saja dan lebih menyayangi adikku yang mulai beranjak besar itu, hatiku berbisik. Tapi aku berfikir, apa gunanya aku menangis untuk hal ini, lebih baik aku pergi saja berjalan kaki dari pada aku tidak datang, kan rasanya tidak enak jika mengingkari janji.
Bergegaslah aku berganti pakaian, setelah selesai aku kembali ke toko untuk meminta izin, namun pada saat aku meminta izin, aku merasa, aku diselimuti dengan rasa takut. Tapi, karena aku sebagai anak laki-laki, aku mencoba memberanikan diri untuk meminta izin. Aku pun meminta izin, tapi jawabannya tidak, lalu aku pun memohon dengan setulus hati kepada ibuku, namun jawabannya tidak, ibuku sungguh egois, dia hanya memikirkan kepentingannya, sedangkan kepentinganku dia abaikan begitu saja.

Aku pun mengambil keputusan untuk pergi diam-diam, tanpa sepengetahuan ibuku. Lalu pergilah aku ke rumah temanku. Dan untung rumah temanku tak jauh letaknya dari rumahku. Diperjalanan aku mulai berfikir, rupanya tidak ada sedikit pun kasih sayang yang diberikan orang tuaku lagi.
Tak terasa, aku pun sudah sampai di rumah temanku. Tapi, tak ada sedikitpun suara teman-teman yang terdengar oleh telingaku, yang kudengar hanya suara aliran air sungai yang terletak dibelakang rumah temanku. Kebetulan pada saat itu ada ibunya temanku yang sedang mencuci pakaian di aliran sungai yang terletak dibelakang rumah temanku itu, setelah aku bertanya kepada ibunya temanku, dan setelah mendengar jawaban dari ibunya temanku aku langsung merasa kecewa kepada ibuku, karena akibat dari keegoisan ibuku, aku tidak bisa mengikuti kerja kelompok tadi.
Aku pun pulang ke rumah, diperjalanan, aku berharap, seandainya jika ibuku tidak memerintahku terus, mungkin ada sedikit waktu untuk aku kerja kelompok bersama teman-temanku. Tapi, itu tidak mungkin terjadi, seandainya terjadipun entah kapan.
Setelah aku sampai ke rumah, aku bergegas pergi ke toko. aku ingin jujur bahwa aku itu selalu dikekang, selalu ada dibawah aturan orang tuaku. Aku pun memberanikan untuk jujur, dan ingin meyakinkan perbuatan orang tuaku kepadaku itu salah besar. Pada saat aku ingin mengungkapkan perasaanku, aku gugup, maju mundur, maju mundur. Ibuku pun mulai merasa heran dengan perbuatanku. Lpess.... Tiba-tiba Ibu menamparku. Apakah semua ini salahku?
Aku berlari kesakitan menuju rumah sambil menangis, dan aku pun menutup tubuhku dengan selimut. Oh tuhan... Mengapa semua ini terjadi? Tolong buka pintu hati orang tuaku, aku bosan, bahkan aku sungguh bosan dengan hal ini. Aku rasa aku tak perlu hidup di dunia yang fana ini, karena seandainya aku hidup, aku selalu dianggap salah dan semua pendapatku tak pernah dihargai. Jadi tak ada sedikitpun manfaat dan guna aku hidup di dunia ini.
Hari ke hari selalu kulalui dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Tiba-tiba pada hari Senin, ayahku membawa dua buah sepeda baru, aku pun bergegas menuju tempat ayahku. Tapi ternyata, sepeda itu bukan untukku melainkan untuk kedua adikku. Aku sedih, mengapa harus mereka yang selalu diberi hadiah kejutan? Mengapa aku tidak? Seandainya orang tuaku tidak membuat usaha baru, pasti orang tuaku menyayangiku juga. Aku merasa, aku ingin meneteskan air mataku, tapi selalu kucoba untuk menahannya, karena aku tidak ingin semua orang tau dengan beban yang selalu kujalani.
Pada sore harinya, aku disuruh orang tuaku, mengajari adik pertamaku untuk mengendarai sepeda. Aku pun mengajarinya mengendarai sepeda, sesuai perintah ayahku, tapi sesungguhnya aku tidak ikhlas untuk melakukan ini, meskipun yang kuajarkan itu adalah adikku sendiri. Lama kelamaan aku merasa dia sudah bisa mengayuh sepedanya, walaupun sedikit demi sedikit. Lalu diam-diam aku pun mencoba melepasnya. Tapi, tiba-tiba, brakkk... adikku terjatuh, dia menjerit sekeras-kerasnya. Aku tidak menolongnya, tetapi aku mentertawakannya, aku tertawa terbahak-bahak, karena aku menganggap hal ini lucu.
Lalu datanglah ayahku sambil membawa sebuah ranting pohon mangga yang ada di halaman rumahku, aku pun dipukul berkali-kali, prak...prak..prakk hingga ranting itu patah. Aku menangis dan langsung berlari ke rumah. Aku pun memberikan seribu alasan untuk hal ini. Tapi, ayahku tetap mengejarku juga hingga ke rumah, aku dipukul menggunakan sapu lidi. Didekat bagian mataku ada yang terkena rimbas, tapi untung aku tidak menjadi buta, karena Tuhan selalu menjaga dan melindungiku.
Aku pun kesakitan, sekujur tubuhku terdapat bagian yang memar, seperti ditangan dan dipahaku. Itu pun untung saja suara Adzan Maghrib telah terdengar. Bila tidak, mungkin sekujur tubuhku memar-memar atau bahkan tulangku patah dipukuli oleh ayahku. Aku merasa sedih. Mengapa semua hal buruk ini harus selalu terjadi padaku?
Setelah terdengar suara Adzan Maghrib, bergegaslah aku berganti pakaian dan segera menuju Masjid yang ada didepan rumahku. Sholat Magrib selesai, aku pun pulang menuju rumah. Sewaktu sedang menonton televisi, terdengar ada yang memangil namaku. Setelah aku bertanya siapa yang memanggilku, ternyata yang memanggilku itu adalah ibuku sendiri. Ibu menatap wajahku dengan rautan wajah yang dipenuhi amarah. Ternyata aku disuruh untuk menjaga toko.
Bergegaslah aku ke toko. Ditoko aku mengobati luka-luka ku tadi. Aku berteriak kesakitan, luka-luka yang ku obati itu adalah luka seperti memar-memar dibagian tangan dan dibagian pahaku. Didekat bagian mataku pun ada bekas rimbasan sapu lidi oleh ayahku tadi.
Hari-hari kulalui walaupun harus kujalani dengan kesedihan, tak terasa sudah dua bulan ku lalui, liburan semester pun tiba, aku sangat gembira, karena sangat gembira aku pun bernyanyi sekeras-kerasnya sampai aku bisa menghilangkan rasa jenuhku selama ini. Tapi mengapa? Disaat-saat bahagia ini, aku tetap terkena marah oleh ibuku. Apakah ini semua salahku. Memang benar, pada saat itu kedua adikku sedang tidur siang, karena ulahku tiba-tiba adikku terbangun. Tapi apakah karena kebahagiaanku dapat membuat orang kesal, Mengapa? Mengapa? seperti itu. Bukankah setahuku bila aku senang maka semua orang akan senang. Rasanya dunia ini sudah terbalik, yang benar menjadisalah, dan yang salah menjadi benar.
Karena hari Liburan tiba, orang tuaku berencana akan liburan ke Manggar tiga hari yang akan datang. Kata adikku aku diajak, tapi aku berfikir itu sangat tidak mungkin. Mungkinkah perkataan itu hanya ingin membuatku seolah-olah senang saja. Tapi percuma saja, semua itu tidak bisa menghapuskan segala perbuatan orang tua terhadapku. Semua ini sudah terlanjur, tidak bisa diubah.
Tiga hari kemudian, setelah matahari terbit, keluargaku telah menyiapkan barangnya masing-masing yang akan dibawa. Karena menurut adikku aku diajak pergi aku pun menyiapkan barang yang ingin aku bawa. Tapi, ketika aku sedang menyiapkan barangku, aku dengar suara mobil ayahku, brum...brumm, aku pun langsung keluar rumah dan berteriak agar mereka menungguku, tetapi mereka tidak menghiraukan aku.
Aku berlari masuk ke kamar, aku pun langsung membongkar kembali barang yang telah kusiapkan tadi sambil menangis sakit hati. Lalu aku melempar mobil-mobilan kesayanganku ke dinding, hampir saja rusak. Aku telah terbawa oleh emosi yang disebabkan oleh perbuatan orang tuaku yang tidak sayang lagi kepadaku. Oh Tuhan... sungguh malang nasibku ini. Lalu aku sangat lelah karena aku harus menggunakan seluruh energiku untuk mengeluarkan emosiku, aku pun tak sadar kalau aku telah tertidur lelap.
Sore harinya, keluargaku pulang tanpa membawa sedikitpun buah tangan. Setelah masuk ke rumah, orang tuaku memanggilku dengan suara keras karena melihat barang-barang yang berserakan di sekitar ruang tamu hingga kamarku. Aku merasa ada yang tidak nyaman, dari tadi ada yang memanggilku, akhirnya aku terbangun. Ternyata ibuku telah berada di depanku, aku langsung dipukul menggunakan buku yang tergeletak didekat kasur tidurku. Hidungku langsung mengucurkan darah. Aku berfikir ini semua bukan salahku, melainkan ini salah orang tuaku, sewajarnya bila aku melakukan hal ini, karena salah mereka sendiri tak mengajakku pergi Liburan ke Manggar tadi.
Aku merasa mengapa disetiap ada suatu perselisihan selalu aku yang menjadi tuduhan? Padahal semua ini bukan salahku. Aku berharap semoga semua ini bisa kulalui dengan penuh kesabaran dan ketabahan, meskipun aku harus selalu disalahkan. Oh tuhan, tolong bukakan pintu hati orang tuaku agar semua ini bisa berhenti berlalu.
Tak lama Hari Libur selesai, hidupku pun terbebani lagi, belajar, menjaga toko, dan tanpa ada waktu sedikitpun untuk bermain. Tetap selalu dimarahi, dipukul, dan ditampar. Semua ini mungkin sudah menjadi takdirku, meskipun rasa sakit terus kurasakan, tapi aku mencoba untuk tetap kuat dan tegar.
Aku tahu semakin lama umurku bertambah, semakin lama aku beranjak dewasa, dan semakin mengerti yang mana perbuatan yang baik ataupun perbuatan yang buruk. Tapi, aku juga ingin sama seperti semua anak-anak yang ditakdirkan untuk selalu dijaga dan disayangi oleh orang tuanya, bahkan setiap sesudah sholat aku selalu berdo’a pada Tuhan agar orang tuaku bisa kembali menyayangiku seperti dulu lagi, dan tidak pilih kasih. Tapi, mengapa semua ini jauh berbeda dengan yang aku harapkan? Mengapa Tuhan tak mengabulkan do’a ku? Siapa yang sebenarnya salah?
Ibu... Ayah... aku mempunyai sebuah puisi untuk kalian, walaupun puisi ini tak ada nilainya, tapi ada sebuah pesan dariku untuk kalian. Jadi tolong dengarkanlah puisi ini dengan penuh rasa kasih sayang, kalian.

Berikanlah Kasih Sayang itu Kembali
Ibu... Ayah...
Kau bawa kemana kasih sayang itu
Disini aku membutuhkannya, aku memerlukannya
Walaupun hanya seperti setetes air mata
Ibu... Ayah...
Tak ada lagi kecupan manis dari bibirmu
Tak ada lagi tetes air mata dari matamu
Tak ada lagi senyuman diwajahmu
Ibu... Ayah...
Meski kau selalu membuatku sedih, hampa
Tapi, aku tetap yakin...
Perbuatanmu adalah perbuatan yang terbaik untukku
Aku pun yakin dibalik semua ini tersimpan segudang kasih sayang untukku
Ibu... Ayah
Aku akan selalu ada didekatmu
Dan aku akan selalu mencintaimu hingga aku menutup mata
Sekali lagi ku ucapkan dengan setulus hatiku, tolonglah bu, tolonglah yah, perhatikan dan berikanlah aku kasih sayang yang dulunya selalu kalian berikan dengan tulus ikhlas walaupun itu hanya seperti setetes air mata. Disini aku selalu mencintaimu.
************************

0 comments:

Posting Komentar