10 Jun 2010

Cerpen "Poh0n TerlaranG" by My FrienD

Kutengadahkan wajahku ke atas tertarik pada putaran beberapa daun kecoklatan yang berlomba terjun mengikuti keinginan angin. Dedaunan itu berputar-putar seperti membentuk beberapa huruf bersambung menandakan suatu kekaguman akan warna langit yang menjadi latarnya. Putaran demi putaran dedaunan yang berlomba menyentuh tanah dan tersungkur sujud tak kuasa menyusul dedaunan lain yang telah lama sampai. Berserakan mengelilingi pohon kekar tempatku menyandarkan kelelahan keseharianku di sore itu.
Lenganku tersentuh kasar pohon kekar nan kokoh dengan akarnya yang menghujam ke perut bumi. Ia seolah tak kan kalah oleh terpaan angin yang tiap saat menantangnya. Ia seakan takkan takluk oleh cengkaraman sinar mentari yang membakar permukaan bumi tempat akar sombong yang mencengkram tanah dengan sangat kuat.
Aku bangga dengan pohon ini. Pohon favoritku. Hampir tiap sore aku berada di bawah pohon ini. Kenangan memori yang berlatar pohon ini sangat banyak. Di sini aku pandai melangkah berjalan untuk yang pertama kalinya di atas permukaan bumi, menurut cerita ibuku. Di sini aku sering bermain dengan asuhan kakek nenek kala mereka mengunjungiku. Berlari, bernyanyi, dan bercerita segala hal. Tapi mereka sekarang telah tiada. Itu sudah lama sekali. Dan di sini aku selalu bermain dan bercanda dengan adik mungilku yang saat itu baru berumur 4 tahun. Tapi hal itu sudah setahun berlalu. Hanya tinggal kenangan yang membuat aliran air mata duka mengenang keceriaan adikku yang telah tiada.
“Akhh…” kuusap mata air bening di kedua sudut mataku.
Mereka yang tercinta terpatri dalam kenangan memori indah telah tiada bersama bayangan keindahan berlatar pohon rambutan ini.
Aku bangga dengan pohon ini. Selalu ingin berlama-lama rasanya berada di sini.
*******



Malam itu kudengar sayup dari dalam kamar ibu berbicara dengan ayah sehabis kami makan malam. Ayah punya kebiasaan tak beranjak dari meja makan walau rutinitas itu telah selesai dilakukan.
“Besok pohon rambutan tua di belakang rumah itu akan ditebang. Ayah sudah menghubungi beberapa teman yang biasa menebang pohon besar. Mereka menggunakan mesin” ujar ayahku singkat.
“Besok kan ayah kerja” kata ibuku.
“Ayah minta cuti 3 hari, sekalian nanti halaman belakang dibersihkan dari sisa-sisa tebangan pohon.Pohon itu kan besar, jadi mungkin perlu beberapa hari membersihkannya, setelah mereka tebang “ jawab ayahku
Aku pun melepaskan buku catatan fisikaku dan bergegas ke dapur. Mereka berdua memandangku. Wajahku pucat dengan nafas pendek memburu berkejar-kejaran satu helaaan dengan helaan berikutnya. Udara yang keluar dari hidungku terasa panas tak percaya.
“Santi, ada apa…” ujar ibuku melepaskan piring yang sedang dicucinya.
“Ada apa, Nak!” tambah ayahku.
Mulutku terasa terkunci. Ribuan kata di rongga mulutku seakan berebut keluar dan tak mau antri satu per satu. Yang terdengar hanyalah napas pendek dan rongga dadaku yang penuh sesak oleh jutaan tanda tanya.
“Nak, ada apa…?” tanya ayah sambil bergegas menghampiriku yang hanya tiga langkah dari depannya berdiri.
“Bu, ambil air..”
Seteguk air putih mengalir di permukaan lorong kerongkonganku. Membuatku agak lega, dan mulai mengatur napas normal pelan-pelan.
Mereka berdua terdiam dan saling pandang khawatir bercampur takut dan rasa trauma. Pandangan yang pernah kulihat saat adikku menarik napas perlahan dan pendek-pendek mengikuti irama jantungnya yang cepat saat tepat tengah malam setahun yang lalu.
“Nak, bicara…” ibu menguncang tubuhku.
Aku tersentak berusaha menenangkan diri. Sambil menarik napas pelan dan mengeluarkan perlahan.

“Ayah akan menebang pohon rambutan itu” ujarku terbata sambil mengangkat lemah jari telunjuk yang kuarahkan ke sudut ruang dapur tepat pohon itu berdiri.
“Ya, Santi” jawab ayahku singkat.
“Jangan, Yah” ujarku sedih.
“Mengapa, ada apa Santi. Menebang pohon itu biasa. Lagipula Ayah beberapa kali diberitahu oleh orang untuk menebang pohon itu. Pohon itu membawa keburukan bagi keluarga kita. Kamu ingat Santi, dulu kakekmu sakit setelah bermain denganmu di bawah pohon itu menjelang sore. Tiga hari kemudian meninggal. Kemudian menyusul nenekmu yang selalu sakit-sakitan karena tak tahan ditinggal kakek. Pohon itu pohon terlarang ” bela ayah.
“Yah, jangan tebang, Yah… Santi mohon” pintaku lemah.
Ayah hanya diam. Dan berlalu ke kamarnya.
*****
Selama berada di sekolah, perasaanku tak seperti biasanya. Pulang cepat, itu keinginanku. Waktu seolah terasa lama sekali berjalan. Pikiranku hanya terfokus pada pohonku, pohon rambutan kesayanganku.
*****
Kupacu lariku sekuat tenaga, ingin terbang rasanya. Terengah kugapai halaman depan rumah. Penuh selidik langsung perlahan berjalan ke belakang rumah.Dan … ternyata pohon…itupun telah rata dengan tanah.
Pandanganku langsung kabur. Otakku berputar-putar tak menentu. Kugapai dinding dapur rumah dengan tangan kiriku untuk menopang tubuhku yang gontai lemas, tak berdaya. Tubuhkupun berangsur perlahan rata dengan tanah. Gelap…gelap….
*****
Akupun membuka kelopak mata perlahan. Yang pertama kulihat adalah ibuku yang matanya merah berair, tanda ia sudah menangis agak lama. Kemudian ayah dan beberapa orang paman dan bibiku. Terasa muka lengan sikuku sakit. Ternyata di situ ada jarum infus yang mengalirkan cairan bening ke dalam tubuhku. Hidungku ditempeli semacam benda kecil dengan tabung transparan yang bergelembung di sisi kiriku. Ternyata aku telah dua hari di rumah sakit. Sehari kemudian aku keluar.
*****
“Pohon itu pohon terlarang, Santi. Begitu kata orang-orang tua di kampung ini. Coba kamu ingat kepergian adikmu sehari setelah kau ajak bermain di bawah pohon itu. Ia meninggalkan kita sehari setelah itu” ayah berujar saat beberapa hari aku pulang dari rumah sakit.
Setahuku adik dan aku memang hampir setiap hari bermain di bawah pohon itu, apalagi saat pohon itu berbuah. Guru agamaku menjelaskan ajal itu ketentuan Allah. Tak disebabkan faktor lain. Tak ada campur tangan manusia atau makhluk manapun. Tak ada urusan dengan pohon yang kata ayah merupakan pohon terlarang. Yangg jelas aku tak menerima penjelasan ayah sedikit pun. Tapi aku pun tak berani beradu pendapat dengan ayah . Aku memang masih berumur 13 tahun, tapi untuk hal-hal sederhana seperti itu semua orang pun mengerti dan memahaminya. Akupun tak menyalahkan ayahku, mungkin ia terlalu terpukul dengan kepergian adikku.
Hari-hari kulalui dengan tak seriang hari-hari sebelumnya. Sepulang sekolah tak bisa aku berteduh di bawah pohon idolaku. Tak bisa aku membaca sambil melihat tingkah sekelompok burung gereja yang berlompatan memperebutkan makanan mereka. Tak bisa aku merasakan hembusan angin sore mengiringi arakan gumpalan awan putih nun jauh di atas sana. Seharian aku berada di dalam rumah. Aku tak menyalahkan siapa-siapa.

Tiap sore kusaksikan ayah berpeluh harus mengambir air dengan ember besar di tempat yang agak jauh dari rumah. Sumur kami yang terletak tujuh meter dari pohon favoritku kering. Mungkin inilah realisasi teori dari guru biologiku, bahwa pepohonan membantu menyiapkan stok air di dalam tanah. Kasihan kulihat peluh yang membasahi wajah ayah.
*****
Pohon rambutan kesayanganku
Jika musim buah rambutan telah tiba
Kau berbuah lebat buahnya sangat manis dan merah – merah
Pohonmu sangat rimbun
Tempat aku berteduh di saat terik matahari
Tempatku bermain dengan kakek nenek dan adikku
Tempat semua kenangan itu terpatri
Batangmu yang sangat tinggi
Kami gunakan untuk memanjat
Tapi itu adalah kenangan masa dulu
bersama kakek nenek dan adikku
Kini umurmu bertambah tua
Batangmu sangat rawan
Dahan – dahanmu menjulang sangat tinggi
Sehingga kami takut untuh memanjat
Walaupun kau tak bisa ku panjati
Tapi aku masih bisa bersantai di bawah batangmu yang rimbun
Sambil menikmati buahmu yang amat lezat dan manis

Dan mengingat masa lalu ku yang indah
Bersama dengan orang yang aku sayangi
Kubaca ulang puisi yang kutulis semasih duduk di bangku sekolah dasar, saat indah terbayang bersama kakek nenek dan adik mungilku tersayang di bawah pohon rambutan itu. Tapi akhirnya lama-kelamaan kusadari pohon itu bukan pohon terlarang untuk ditebang. Bukan pohon terlarang untuk diratakan dengan tanah . Semua kenangan biarlah selalu hidup di sanubariku lengkap dengan pohonnya. Tapi yang jelas tidak ada hubungan kehilangan orang yang kami cintai dengan pohon itu. Semua urusan Allah. Ayahpun akhirnya bertobat untuk hal itu. Aku bahagia dan tenang.
Tengah malam itu napasku berat, jantungku berdebar cepat. Darahku mengalir cepat diseluruh permukaan nadiku. Kudengar sayup ayah dan ibuku menangis keras memelukku bergantian. Air mata mereka yang hangat, sehangat limpahan sayang yang kurasakan selama ini. Suara mereka semakin keras.
Gelap…
Gelap…
Gelap…
“Kak Santi…Kak Santi…!” suara yang selalu kurindukan sayup terdengar.
Dari kejauhan ….
Adikku berlari kecil meghampiriku, mengajakku bermain di bawah pohon itu. Kurangkul, kupeluk ia erat-erat….

0 comments:

Posting Komentar